Oleh: Rafdi, M.A
- Ketua Badan Pengurus Harian Yayasan Buana Pratama (Penyelenggara Perguruan Tinggi CBI)
- Kolomnis Pada Berbagai Media Massa Nasional
Ada pada suatu desa di Uganda yang eksistensi representasinya melebihi karakteristik eksistensi rata rata negara Uganda. Bukan hanya tentang hidup keseharian dalam cengkraman panas matahari, tentang ekonomi morat marit dan kemiskinan , tentang penduduk miskin bermukim pada hamparan safana, tetapi pada sekitar desa itu bermukim pula binatang buas yaitu singa. Penduduk desa begitu terbiasa lalu lalang di sekitar kerumunan binatang buas itu untuk menjalani aktifitas hari-harinya.
Pada desa ini penduduk mengklasifikasikan singa pada strata sebagaimana halnya gerombolan kucing kucing pemalas. Bagaimana tidak, penduduk desa dengan cueknya melewati wilayah teritorial binatang buas ini dan selalu berpapasan dari jarak dekat. Bagi penduduk kota walaupun hanya dengan melihatnya bisa menyebabkan hampir terkencing kencing karena khawatir penduduk desa itu akan diterkam.
Apakah semata mata kondisi ini bisa tercipta oleh sebab faktor kebiasaan ? Entahlah. Yang jelas di mata penduduk desa singa singa itu tidak dihargai dan diremehkan. Seolah singa singa itu bagaikan kucing piaraan yang sedang menunggu lemparan ikan asin.
Entah apa yang ada dalam hati singa singa itu hingga membiarkan manusia bolak balik di tempat mukimnya , dan entah apa pula yang ada di hati penduduk desa terhadap makhluk pemakan daging itu hingga terkesan menganggapnya biasa biasa saja, bukan hal yang menakutkan. Yang jelas para turis dari berbagai negara berdatangan,duduk dalam mobil berstandarisasi keamanan untuk melihatnya.
Melahirkan pertanyaan pula, apakah tema wisata turis turis itu tentang singa atau tentang dimensi sosial yakni fakta sosial pembauran manusia yang acuh terhadap binatang buas dengan singa singa yang bodoh. Betapa singa yang disebut raja hewan itu tidak dipandang oleh mereka-mereka. Penduduk desa hanya fokus menyelesaikan target pekerjaan dan aktifitasnya.
Dalam konteks psikologi perilaku penduduk desa ini bisa dikategorikan sebagai validasi diri. Validasi diri dapat diartikan sebagai prinsip membangun penghargaan atau pengakuan atas diri. Prinsip dasar validasi diri bahwa kelancaran dan kesuksesan diri tidaklah berkomperatif dengan melihat kiri kanan. Sehingga orang di sekitar dipandang bukanlah saingan. Justru saingan itu adalah diri sendiri.
Sehingga kemudian kalau ingin bagus tidak perlu dengan menjelekkan orang lain, kalau ingin naik ke atas meraih jabatan tidak perlu memijak bahu orang lain, kalau ingin diperhatikan tidak perlu mengkondisikan diri agar disorot dan menutup celah tampil orang lain.
Menurut Socrates ada tiga jenis degree / tingkatan berfikir manusia. Pertama, orang orang bawah sibuk membahas tema tentang orang lain. Baik untuk tujuan tertentu ataupun atas kebiasaannya. Untuk tujuan tertentu bisa seperti menyoroti kelemahannya untuk menjatuhkan atau melemahkan yang dimanfaatkan agar menang untuk persaingan atau untuk mendapatkan perhatian.
Fakta ini bisa diasumsikan sebagai upaya memvalidasi diri dengan mengupayakan orang lain invalid. Kedua, orang orang menengah sibuk mendiskusikan suatu fakta atau peristiwa. Pada konteks ini merupakan aktifitas analisis yakni mendiagnosis fenomena dengan cara deduktif. Tentang mengapa sesuatu itu terjadi, unsur-unsur apa yang terkandung pada kejadian itu, apa dampaknya, dan lain lain.
Ke tiga , orang orang atas mendiskusikan tentang ide atau apa yang harus dilakukan dan dihasilkan. Fakta ini identik ke pada output untuk memecahkan masalah,menghasilkan sesuatu , atau mencipta sesuatu.
Pemahaman yang dimaksud tingkat berfikir orang orang bawah bukan mengacu pada status sosial mereka atau posisisinya pada suatu tatanan tetapi cenderung sebagai pamahaman cara betfikir. Sebab banyak ditemui cara berfikir seperti ini dimiliki olah orang orang yang sudah memiliki posisi atau status pada suatu organisasi. Adapula dimiliki oleh sekelompok yang disebut kaum intelektual.
Khusus terhadap kaum akademisi, kelemahan kemampuan mengeksploitasi dan mengekplorasi potensi diri sehingga tidak berimpact pada Creative Thinking menyebabkan lahirnya kerangka berfikir orang orang rendah. Deskripsi berfikir tidak mengarah ke pada suatu objek outcome, namun lebih ke pada hal hal yang telah ada.
Hingga kemudian salah satu sasaran asesmennya mengarah pada orang lain. Tingkat stagnasi pemikiran yang disebut cara berfikir “proses” ini atau memikirkan sesuatu yang sudah ada hingga tinggal menjalankan saja otomatis akan melihat ke samping secara vertikal. Namun bagi kategori tingkat berfikir orang orang menengah dan orang orang atas maka dia akan melihat ke atas secara fertikal.
Kerangka berfikir orang orang menengah dan orang orang atas akan mengabaikan kiri dan kanan. Dia memproyeksikan suatu objek di depan yang harus dicapai atau diraih. Menurut analisis taxonomy oleh Bloom bahwa ke dua macam kelompok ini disebut sebagai Higher Order atau berfikir tingkat tinggi. Orang orang menengah sibuk menganalisis berbagai fenomena dan orang orang atas sibuk melahirkan ide ide kreatif bahkan sampai pada tingkat mencipta.
Yang lalai dari sorotan orang orang bawah bahwa sesungguhnya validasi diri itu tidak lahir dari pengakuan orang lain namun lahir dari produk potensi diri. Kalaupun pegakuan orang lain itu didapat hanyalah sebagai akibat. Pada konteks akademis pengakuan orang lain disebut recognisi.
Namun anehnya orang orang bawah ingin meraih validasi diri dengan menurunkan kualitas orang lain. Bahwa tidak pernah ada recognisi bila menyajikan noda noda orang lain sungguhpun mendapat imbalan dari pihak tertentu. Validasi diri itu lahir dari konsekuensi kemampuan menganalisis dan berkarya.
Bila diajukan pertanyaan yang sedikit radikal : Apakah berfikir ala orang bawah bisa melahirkan suatu kemajuan? Jawabnya justru melahirkan kemundurun. Bisa dilihat dari berbagai persfektif. Pertama, karena lokus berfikirnya ke samping bukan ke atas maka secara bagan dia berada pada posisi stagnasi. Ke dua, potensi diri yang dimiliki dihabiskan untuk hal hal yang tidak mengandung outcome. Ke tiga, sulit mengadopsi masuknya pengetahuan ke dalam diri. Bisa ditelaah dari hukum kausalitas.
Bilamana sibuk memikirkan kelemahan orang lain berarti terkandung dalam diri suatu penyakit yang disebut penyakit hati. Penyakit hati inilah sebagai akar masalah sehingga melahirkan kesibukan mengasesmen orang lain. Kalau mengatakan orang lain lemah berarti adanya dalam diri rasa sombong.
Bila merasa tidak senang terhadap orang lain berperan adanya dalam diri rasa iri. Dan lain sebagainya. Dari deskripsi adanya kandungan penyakit hati maka menurut agama ilmu dan pengetahuan selaku investasi potensi terhalang untuk masuk. Penyakit hati bisa menyebabkan tembok pengahalang dalam mengadopsi ilmu dan pengetahuan.
Sahihnya validasi diri menurut para ahli bisa dibagi ke pada tiga kriteria. Validitas konstruk mengutamakan instrumen atau alat dan cara ukur yang benar. Bila seseorang sering tampil di hadapan khalayak atau sering tampil pada media massa dipandang sebagai orang pintar oleh masyarakat awam. Padahal menurut validasi konstruk bahwa alat ukur orang pintar itu tentang sejauh mana seseorang mampu memecahkan masalah dan sejauh mana kemampuannya dalam berkarya.
Selanjutnya validasi isi. Apakah dalam mengambil kesimpulan sudah melibatkan semua aspek yang terkait untuk diukur. Orang yang pakai jas dan dasi belum tentu orang kaya. Bisa jadi seorang salesman. Untuk itu ukurlah aspek lainnya seperti seberapa banyak depositonya dan seberapa banyak hartanya.
Terakhir validasi kriteria. Sesuatu yang dijadikan patokan atau standarisasi. Hal ini terkait dengan literatur atau yang sudah disepakati. Dahulu Standar sehingga seseorang dikatakan sejahtera adalah tingkat pendapatan. Namun sekarang seseorang dikatakan sejahtera adalah tingkat pendapatan, tingkat kesehatan, dan tingkat pendidikan.
Wallahu a’lam bishawab