Oleh: Rafdi, M.A
Ketua Badan Pengurus Harian Yayasan Buana Pratama (Penyelenggara Perguruan Tinggi CBI)
Pada sisi lampu merah perempatan jalan, tua bangkotan itu menenteng gendongan. Bila lampu jalan menyala merah, saat yang lain diam maka dia bergerak mengitari angkot yang berhenti. ” Rokok, rokok,rokok “, katanya menawarkan. Nasabahnya khusus pembeli enceren level bawah yaitu sopir angkot.
Kang Jajang lebih tua dari umurnya, umur lima puluh dua tahun tetapi bercorak di atas enam puluh tahun sehingga terkesan bangkotan. Badan yang sangat kurus, sudah dekat jaraknya dengan tungkai, dan sering batuk batuk.
Sepertinya Kang Jajang sakit asma. Tapi anehnya dia tidak mau mengesankan bahwa pada badan kerempeng itu menumpang pula penyakit penyedot energi, bahwa segala penyakit yang berkaitan dengan paru paru adalah memunculkan lesu dan kusam serta keletihan.
Adalah sulit mencari nilai lebih dari Kang Jajang, begitu sangat repotnya mencari nafkah, badan reot lalu diserang penyakit pula. Sederhananya hanya bermodalkan nyawa dan badan yang ringan bila ditimbang dari kacamata potensi.
Lalu mengapa dia senang bercerita tentang lebih. Tentang betapa baiknya tukang empek empek, istrinya setia menunggu pulang dan tiada tanya yang miring , bahkan tiada marah bila setoran di bawah biasanya. Kata Kang Jajang rata rata menyetor lima belas ribu sehari, dan istri sudah merasa cukup. Namun yang mengherankan jumlah anaknya lima orang. Apa rumus matematika untuk mendeskripsikan pendapatan dibagi kebutuhan hidup untuk sama dengan keadaan bertahan? Entahlah.Pokok nya jauh dari rumus rumus realita.
Ketauladan Kang Jajang adalah guru hidup dalam perjalanan kehidupan. Belajar dan mempelajari Kang Jajang serta hubungannya dengan tukang empek empek mengharuskan mengganti logika sebagai alat pembelajaran ke media rasa dan estetika.
Rasa antara mereka pada mutu kedekatan mendalam tanpa strata , merasa berada pada tataran yang sama, yaitu sesama hamba Allah. Tukang empek empek bukan hanya bermuamalat dari jualan tetapi dia juga berniga melalui sodaqoh dengan modal perbuatan tetapi menjadi nilai ekonomi bagi Kang Jajang. Dan estetika alami bukanlahlah selalu tentang yang kasat tetapi pancaran pancaran aktifitas amalyah keseharian membawa mereka pada titik temu yang sama, tentang sukron yang sedang dijalani, dan tanpa diucapkan.
Kang Jajang riwayatmu kini, saya tidak pernah lagi mendengar suara menjajakan rokok,rokok,rokok dan tak lagi melihat sosok yang krempeng itu yang merupakan guru kehidupan bermukim di lampu merah.Kemana dia ( ?) Saya sudah tak melihatnya dari tahun 2021 sampai sekarang di lampu merah perempatan Degung Kota Sukabumi.
Saya merasa kehilangan atas agent of value, yang mengajarkan nilai nilai bukan dengan cara mangajar tetapi dengan memetik pembelajaran melalui kisah kesehariannya : seorang sosok nestapa berbaju sukron, seorang pesakitan yang tidak cemburu pada rasa sehat, seorang pengucap apresiasi atas yang lain sebagaimana sesungguhnya merupakan lantunan doa darinya, doa dari seorang yang sakit dan dhuafa yang mudah diijabah Allah. Wallahu a’lam bishawab. (*)