Oleh : Rafdi, M.A
(Kolomnis Pada Berbagai Media Massa Nasional)
Tentang suatu negeri di kaki Gunung Himalaya, negri misterius sangat terpelosok, namun ini adalah tentang sebuah negara, bukan kampung. Adalah negara Bhutan.
Perjalanan menuju Bhutan adalah keinginan ragu dan dihantui rasa takut, penuh tantangan karena pesawat akan terbang di atas jurang, lembah dan ngarai serta kiri kanan adalah gunung. Belum lagi biaya perjalanan yang cukup mahal menuju ke sana.
Bhutan adalah negara gunung, negara budayanya sendiri, negara yang hidup sendiri untuk kehidupan mereka. Negri asing ini bukan berarti primitif tetapi mereka menata kehidupan lebih ke pada dasar filosofis ketimbang regulatif. Tidak ada undang undang yang keras sekeras kejahatan manusia, hampir jarang terjadi pengadilan karena masyarakat dalam keseharian sudah mengadili diri sendiri.
Tempat ini tercipta damai bukan diciptakan atau melalui program pemerintah tetapi berpondasi kesadaran secara lahiriah. Bahkan lampu merah di jalan raya tidak dipentingkan sehingga tidak ada. Rambu rambu aturan dan kesadaran tidaklah perlu disimbolkan untuk ditaati seperti di negri kita : dilarang ini dilarang itu.
Wajah sosial dan performa mereka saling dekat dan mengenal satu sama lain. Hebatnya lagi, gadis gadis Bhutan tidak begitu mengenal kosmetik. Prinsip dasar gadis gadis di sini tidak senang rekayasa agar kelihatan cantik dan menarik.
Berbeda dengan di negeri kita, rekayasa kosmetik hingga menor oleh bedak tebal hampir setengah centil yang putihnya bisa diadu dengan terigu, bibir bergincu merah membara semerah nyala mancis, kehitaman alis mampu bertanding dengan pekatnya oli bekas. Namun rekayasa kandas ini tidaklah cukup.
Dipandang belum berkelas bila hanya mampu bertanding cantik pada dunia nyata.Penggung kecantikan model baru di dunia maya melalui pusat kecantikan aplikasi gratis melahirkan nenek nenek berusia mundur. Umur lima puluh tahun, namun tampilan di medsos persis terlihat seperti umur dua puluh lima tahun.
Anehnya teknologi pembohong ini laris sekali, bukan karena gratis tetapi karena dunia maya tempat pelarian baru. Biarlah di dunia nyata standar saja tetapi di dunia maya haruslah menang. Kalaupun tidak ada yang comment minimal mendapat like cap jempol.
Jigme Khesar Namgyel Wangchuck adalah raja Bhutan kelahiran tahun 1980. Walaupun namanya sulit dibaca tetapi perilakunya mudah ditebak. Salah satunya yang jelas walaupun raja, dia hanya punya satu istri. Berbeda dengan anggapan sebahagian orang bahwa setiap naik pangkat satu digit istri bertambah satu orang.
Berguluh ke Jigme bahwa walaupun dia orang nomor satu di negaranya tidak pernah ada kawal kawalan dan kebisingan suara serine kalau dia lewat dan tidak ada pula penghormatan berlebihan oleh rakyatnya seperti upacara bendera sungguhpun sedang berpapasan. Jigme lahir dan dibesarkan dari akar budaya nan bersahaja, jauh dari kultur feodal dan kebutuhan dihormati.
Di negeri kita kalau kepala negara mau berkunjung maka persiapannya bisa satu bulan dan masyarakat sekitar sudah heboh duluan. Segala macam mitigasi pengamanan dikondisikan, lokasi dipetakan secara intelijen, schedulle disusun sedemikian rupa. Pada perjalananpun ada penjagaan aparat pada setiap jarak satu kilo meter.
Sudah tidak asing kalau Jigme datang mengunjungi rumah rakyatnya dengan jalan kaki, datang secara mendadak.Diapun mengajak rakyat berbicara tentang yang ringan ringan saja sambil bercengkrama. Dan suka sukanya pulalah untuk untuk pergi, beranjak ke rumah penduduk lain.
Jigme kepala negara paling merdeka di dunia karena tidak tersentuh oleh protokoler. Seorang kepala negara yang tidak mau dikendalikan jadwal, kalaupun dia lapar dia akan cari sendiri lokasi makan terdekat. Namun siapa sangka kalau sesungguhnya Jigme berpendidikan tinggi, lulusan perguruan tinggi dari Barat.
Iconic apa yang sekiranya layak disandang Bhutan dengan kecirian negrinya. Bahwa Bhutan telah mendapat reputasi di dunia berupa negara paling bahagia di dunia. Bila diasesmen menurut perafektif umum akan melahirkan kontradiktif. Mengapa suatu negara yang jauh dari teknologi dan minim mengimpor kebutuhannya dari negara lain bisa memperoleh bahagia tingkat tinggi ? Bahkan internet masuk ke sana baru tahun 90 an.
Mengapa pula mereka bisa bahagia tanpa sarana kereta api listrik, mobil mercy, hotel bintang lima, hamburger, fried chiken, baju baju mahal ala impor, dan tetek bengek simbol kekayaan dan kecanggihan lainnya. Dari sinilah dasar unikumnya, tentang berbagai kontradiktif itu melahirkan implikasi yang sulit diraih oleh berbagai negara di dunia. Kontradiktif itupun mencakup reprsentasi good governance yaitu Bhutan memiliki menteri kebahagian. Kalau pada berbagai negara di dunia ada juga Menteri Ekonomi.
Bagaimana pula Menteri Kabahagiaan itu, apa tugasnya, dan bagaimana mengukur kinerjanya? Hampir semua kinerja menteri di dunia bisa diukur secara kuantitatif. Namun untuk validasi standar kebahagiaan sulit untuk dikuantitafkan. Namun Menteri Kebahagian Bhutan pernah menguji keberhasilan kinerjanya melalui skala persepsi menggunakan instrumen questioner. Menghasilkan tingkat signifikasi yang tinggi dengan mendekati angka 100 % masyarakat Bhutan merasa bahagia.
Pada akhirnya dapat disimpulkan Bhutan adalah neara yang jauh dari berbagai persfektif, bukan hanya secara tedotrial yang jauh dari negara lain, namun jauh dari hubungan diplomatik dalam artian minim memanfaatkan hubungan diplomatik, minim kebutuhan ekonomi dengan negara lain,minim kebutuhan kancah politik regional dan internasional sehingga kemudian menjadikan Bhutan bagaikan menyendiri dari segala macam aspek.
Negara negara lain di dunia sibuk membuat blok karena kepentingan satu sama lain sangat besar. Namu Bhutan sibuk dengan kesendiriannya. Inilah potret tentang bahagia sesungguhnya, bahwa semakin kecil kebutuhan dan ketergantungan ke pada pihak lain akan semakin meningkat pula kebahagiaan. Sebab Bhutan memiliki orientasi dan paradigma sendiri tentang kebahagiaan yang keluar dari kerangka fisiologis tetapi mengarah ke pada standarisasi batiniah nan susah diukur melalui instrumen empirik.(*)