SUlKABUMITIMES.COM – Aturan yang membatasi Aparatur Sipil Negara (ASN) sampai saat ini masih multitafsir dan masih dianggap ambigu. Kalau memang ini mengganjal, bisa saja diajukan yudicial review ke MK. Khususnya yang masih menjadi masalah itu arti dari kata ‘netral’.
Demikian pandangan akademisi dari Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) Tuah Nur ketika di daulat menjadi narasumber pada Sosialisasi dan Sosialisasi Pilkada Serentak Tahun 2024 Bersama Steakholder dengan Tema “Menjaga Netralitas ASN dalam Pilkada Tahun 2024” yang bertempat di salah satu hotel yang ada di Kota Sukabumi pada Jumat.
Tuah Nur melihat kapasitas ASN memang seharusnya untuk saat ini memang tidak memihak, karena yang namanya ASN itu mempunyai akses, dan juga berkaitan dengan kebijakan, apalagi dalam hal kebijakan anggaran.
“Berdasarkan pantauan tentang netralitas ASN di kota Sukabumi saat ini masih ada yang Tidka netral atau dengan kata lain tidak netral dalam pilkada serentak ini.
“Jika kita menyimak laporan dari Bawaslu kota Sukabumi memang ada 2 laporan dan sudah dalam penanganan dan keberadaan Undang-undang ini sebenarnya untuk mencegah dan meminimalisir tenang ketidaknetralan ASN,” ujarnya.
Yang menjadi diskusi lebih menarik kemarin adalah banyak masukan yang terkait dengan netralitas ASN itu sendiri, yakni makna netralitas itu seharusnya disamakan dengan netralitas TNI dan Polri.
“Yakni seharusnya tidak memilih. Namun dalam kenyataannya netralitas di ASN itu masih mempunyai hak pilih,” ulasnya.
Menurutnya, makna Netralitas ini sebenarnya ada beberapa hal, yakni Netralitas tidak memilih dan netralitas tidak memihak.
“Kalau kita lihat, Netralitas di ASN itu tidak memihak dan masih mempunyai hak pilih. Sedangkan di TNI dan polisi itu netralitas ya tidak memilih dan tidak memihak,” jelasnya.
Tuah Nur melihat, ASN di kota Sukabumi sudah layak dianggap netral. Tetapi ketika ditemukannya kejadian ini, maka masih dipertanyakan netralitasnya. Apalagi saat ini ada dua kandidat yang pernah manggung dan itu dipastikan timbul konflik kepentingan di situ.
“Ketidaknetralan itu terjadi sebenarnya karena adanya konflik kepentingan ( inters), apalagi kalau sudah menyangkut pada karier ASN nantinya. Kalau seandainya Paslon itu jadi, harapannya mereka akan berimbas pada karier bagus nantinya ketika dia memilih dan begitu juga sebaliknya,” tambahnya.
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Rafih Sri Wulandari, Ketidaknetralan ASN itu paling mudah, paling mudah memobilisasi bawahannya.
“ASN sampai saat ini masih kuat pengaruhnya di masyarakat dan jika bisa menjadi ASN, dianggap mempunyai prestis tinggi, dibuktikan dengan banyaknya antrian yang berkeinginan untuk jadi ASN,” ungkapnya.
Justru, dirinya banyak menyorot dan menjadi perhatian adalah bukan masalah sanksi pidana, namun masalah moral dan kualitas SDM ASN.
Berbicara Marwah, ASN itukan di gaji oleh masyarakat. Kuncinya pelayanan publiknya, sehingga tidak boleh berpihak kepada Paslon tapi kepada masyarakat.
“Itu sebenarnya lebih bicara pada moral dan etik dan payah nya Indonesia tidak takut dengan moral dan etik. Karena payung hukumnya ringan, kalah dengan negara luar. Kita Kalau bicara pidana baru takut,” bebernya.
“Harapan kedepannya, supaya ada payung hukum yang jelas dan tegas, kalau ingin ASN netral, ya harus tajam,” pungkasnya. (sya)