SUKABUMITIMES.COM – Melaka menjadi pusat perdagangan penting di Nusantara berkat lokasinya yang strategis, berada di tepi Selat Melaka yang membentang antara Semenanjung Melayu dan Pulau Sumatera. Pelabuhan Melaka berfungsi sebagai gerbang utama distribusi hasil bumi dari Maluku, dimulai dari Hitu dan Banda, lalu menuju pesisir Jawa, Pantai Timur Sumatera, dan akhirnya sampai di Melaka. Dari sana, barang-barang tersebut kemudian dikirim ke India dan berbagai daerah lainnya.
Keberhasilan Melaka sebagai pusat perdagangan dan emporium di Nusantara juga tidak lepas dari peran Parameswara, yang menjalin hubungan dengan kaisar Cina dan armada Dinasti Ming. Bukti keberhasilan ini terlihat dari wilayah yang dikuasai Malaka, meliputi Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Kepulauan Riau, dan beberapa daerah di Sumatera.
Ketertarikan para pedagang seluruh dunia melakukan transaksi di Melaka dikarenakan sistem perdagangan yang diterapkan. Pertama, melibatkan pedagang yang menyuntikkan modal ke dalam barang dagangan yang akan diangkut melalui kapal untuk dijual di pasar asing. Kedua melibatkan pedagang yang menitipkan barang kepada nahkoda kapal, dan keuntungan kemudian dibagi antara nahkoda kapal dan pedagang yang memberikan modal. Hasilnya, pengiriman barang dari Melaka ke Bengala sering kali menghasilkan keuntungan yang signifikan, mencapai antara 80% hingga 100%.
Terdapat faktor lain yaitu peraturan daerah disebutkan bahwa ada empat orang syahbandar yang bertugas. Syahbandar-syahbandar ini dipilih dari kalangan saudagar asing. Oleh karena itu, pedagang asing yang bertransaksi di Melaka merasa puas karena urusan mereka ditangani oleh pejabat pelabuhan yang berasal dari lingkungan mereka sendiri. Tugas utama seorang syahbandar adalah merawat para pedagang yang menjadi tanggung jawabnya serta mengelola situasi di pasar dan gudang.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang tidak memberlakukan bea ekspor terhadap barang-barang yang dikeluarkan dari Melaka, baik untuk kapal-kapal yang berlayar ke barat maupun ke timur, juga menimbulkan kegembiraan di kalangan pedagang asing.
Komoditi yang diperdagangkan salah satu diantaranya berupa rempah. Rempah inilah yang memberikan suatu kondisi dimana interaksi antarbangsa dilakukan. Interaksi yang ditimbulkan memberikan dampak berupa asimilasi kebudayaan. Budaya yang hadir diantara masih dapat kita jumpai di sejumlah kawasan bersejarah di Melaka.
Kehadiran budaya di Melaka tak terlepas dari orang-orang yang dahulunya berdagang. Pedagang yang datang kemudian tak jarang menikah dengan beberapa wanita Melayu di Melaka. Di antaranya pedagang Cina melakukan pernikahan dengan orang Melayu setempat yang dilakukan dari abad ke-15 sampai abad ke-19. Perkawinan ini menghasilkan etnis baru yang disebut Baba dan Nyonya. Berbeda dengan peranakan Cina yang ada di Indonesia, Baba Nyonya memiliki keunikan seperti cara berpakaian, masakan, tata cara perkawinan dan agama.
Selain pedagang Cina, pedagang India juga melakukan perkawinan dengan orang Melayu atau orang setempat di Melaka yang disebut Chitty. Para pedagang India yang berasal dari Tamil Nadu menetap dan membaur dengan masyarakat di Melaka. Hal itu dipengaruhi pula atas kekalahan kerajaan Melayu Melaka atas Portugis di tahun 1511 yang menutup akses pintu balik ke tempat asalnya di India.
Dalam berbagai budaya, Chitty banyak melakukan budaya orang Melayu seperti pakaian dan makanannya.
Orang Portugis pun memiliki kampung khusus di Melaka yang disebut dengan Padre Sua Chang (Tanah Paderi). Budaya yang masih terus dilakukan oleh masyarakat Portugis di Melaka adalah bahasa kristang yang menjadi bahasa ibu masyarakat Portugis. Selain bahasa, pakaian khasnya pun seringkali digunakan.
Penempatan maupun perkawinan yang dilakukan oleh para pedagang saat melawat di Melaka tentu melahirkan sebuah budaya baru yang mewarnai kota tersebut. Oleh karena itu warna menarik timbul dikarenakan banyaknya pilihan budaya yang dapat kita lihat dan nikmati menjadi shared cultural heritage.***
SUMBER : Kemdikbud.go.id