SUKABUMITIMES.COM – Jangan jadikan kecurangan akademik sebagai suatu hal yang biasa. Selain merugikan diri sendiri, masyarakat, akademisi, juga kebiasaan ini merusak moral suatu bangsa.
Dan ternyata kecurangan akademik ini dianggap yang lumrah di negara Indonesia. Sebuah riset dari jurnal MIT Press Direct mengungkapkan bahwa dari 172 negara, Indonesia menempati urutan kedua tertinggi setelah Kazakhstan dalam mempublikasikan jurnal predator.
Kira-kira, apa itu jurnal predator dan mengapa ini menjadi masalah?
Apa itu Jurnal Predator?
Jurnal predator adalah sebuah istilah untuk jurnal akademik yang dipublikasikan dengan cara curang. Penerbit tidak menetapkan biaya berlangganan, namun mereka menerima bayaran dari penulis yang ingin artikelnya dipublikasikan di jurnal akses terbuka.
Hasilnya, penerbit tidak melakukan proses peer review sesuai prosedur sehingga kredibilitas artikel dipertanyakan. Penulis pun menjadi termotivasi untuk “membayar” atau menjoki penerbitan karyanya demi keberlangsungan kariernya.
Menurut penelitian tersebut, negara-negara berkembang dengan sektor riset yang besar cenderung paling rentan mempublikasikan jurnal predator, di mana 20 negara peringkat publikasi tertinggi tersebar hampir di seluruh benua Asia dan Afrika Utara.
Realita Kecurangan Akademik di Indonesia, Joki Sudah Biasa?
Jika kita lihat pada realita di ranah akademik Indonesia, ternyata praktik joki tugas adalah hal yang lumrah dilakukan.
Beberapa penjoki mengungkapkan alasan membuka joki adalah untuk membantu teman mengerjakan tugas, mengisi waktu luang, hingga motif ekonomi.
Joki yang tersedia tidak hanya untuk tugas biasa, namun juga untuk ujian online hingga skripsi. Joki ujian berkisar pada harga Rp3 ribu per satu soal pilihan ganda, dan untuk jasa skripsi minimal dibanderol dengan harga Rp2 juta. Bahkan, ada pula joki untuk tes masuk perusahaan BUMN hingga tes CPNS.
Sedangkan, mahasiswa pengguna joki tugas mengungkapkan alasan mereka menggunakan jasa tersebut, yaitu karena banyaknya tuntutan tugas, buruknya manajemen pengerjaan tugas, hingga merasa tidak terlalu menguasai tugas yang bukan mata kuliah utama.
Menurut Prof Sunny Ummul Firdaus, dosen Fakultas Hukum dan Ketua Majelis Kode Etik Mahasiswa (MKEM) Universitas Sebelah Maret, dirinya sudah pernah mendengar adanya praktik joki tugas dari mahasiswa maupun dosen, namun belum pernah ada yang melaporkannya secara tertulis.
Selain itu, menurutnya dampak penjokian tugas sebetulnya merugikan mahasiswa itu sendiri, karena mereka menjadi tidak menguasai mata kuliah. Hal ini juga akan menjadi tantangan terkait nilai tanggung jawab di industri kerja.***