Oleh: Prof. Dr. Ahwan Fanani
Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang
Kesempatan untuk menyaksikan Film Lafran akhirnya datang pada tanggal 20 Juni, pada saat pemutaran resmi Film Lafran di bioskop-bioskop. Pada tanggal 17 Mei lalu, saya terpaksa tidak bisa hadir dalam Kegiatan Nonton Bersama di Cinepolis Java Supermall yang dikoordinasi oleh MW KAHMI Jawa Tengah. Karena ini film mengenai tokoh yang berjasa, maka isteri, anak, hingga mertua pun ikut diboyong ke Bioskop DP Mall Kota Semarang. Kegiatan menonton film biopik saya niatkan untuk memberi pendidikan kepada anak agar mereka punya literasi mengenai perjuangan nasional.
Saat memasuki ruang teater, penonton tidak begitu ramai siang itu, meskipun bioskop cukup megah dengan sound Dolby Stereo, yang menggema. Siang itu ramai anak-anak hingga dewasa yang menonton di bioskop, namun film-film kartun atau film luar negeri yang lebih menarik minat. Sementara film mengenai tokoh nasional ini sepertinya luput dari perhatian banyak orang. Kenyataan itu tidak menyurutkan minat kami untuk menonton Film Lafran bersama keluarga.
Untungnya, Film Lafran ini bisa dinikmati oleh anak-anak hingga orang dewasa. Cerita mengenai Lafran kecil hingga remaja disikapi cukup antusias oleh anak saya yang masih duduk di kelas 3 SD. Ia mulai kehilangan minat ketika film menceritakan tentang masa dewasa Lafran dan pergulatan intelektualnya di Yogyakarta. Sebaliknya, bagi istri dan mertua saya semua bagian film itu bisa dinikmati sehingga mereka ikut tertawa pada bagian adegan yang lucu.
Ini bukan kali pertama saya menonton film biopik dengan keluarga. Ada beberapa film biopik yang sudah saya tonton bersama keluarga, seperti film tentang Ahmad Dahlan (Sang Pencerah), Guru Bangsa Tjokroaminoto, Soekarno, Nyai Ahmad Dahlan, dan HAMKA. Masing-masing punya nilai khas, meski ada yang terjebak dengan narasi kaku, seolah menyaksikan fragmen-fragmen kisah tokoh yang tidak bertautan satu dengan yang lain.
Ekspektasi saya mengenai Film Lafran ini awalnya tidak cukup besar, namun ternyata film tersebut lebih baik dari yang saya bayangkan. Alur cerita bertemali antara bagian satu dengan lainnya. Akting para tokoh cukup baik, utamanya akting Mattias Muchus yang berperan sebagai Sutan Pangarubaan Pane (ayah Lafran). Film ini juga mampu menyampaikan pesan atau amanat secara jelas. Latar dan pernik peralatan, seperti lemari, buku, pakaian, dan kendaraan, bahkan pengaturan lalu lintas dengan model tulisan geser tampak unik dan eksotik.
Dalam bahasa sastra, ada proses katarsis ketika menonton film ini. Tidak terasa, perasaan haru menyeruak pada bagian ketika Lafran mendirikan organisasi, menghadapi penolakan, hingga kerelaannya untuk melepaskan jabatan ketua kepada M.S. Mintaredja demi perkembangan organisasi. Transformasi tokoh Lafran dari anak badung menjadi pribadi yang sederhana dan independen sangat inspiratif bagi generasi sekarang, khususnya bagi anak-anak Himpunan.
Beberapa selipan adegan lucu ditampilkan cukup baik dan halus, seperti saat Lafran diajak Juan Carlos mampir ke rumah teman perempuan mereka yang abangan. Lafran saat itu hendak menjalankan shalat dan meminta ijin ke mushala. Tetapi teman perempuannya meminta Lafran shalat di rumahnya saja. Ternyata keluarga itu tidak pernah menjalankan shalat. Saat menata sajadah yang dipinjam dari pembantu rumah tangga mereka, si gadis bingung harus dihadapkan kemana ujung sajadah. Hal itu ditambah dengan pertanyaan menggelitik dari orang tua di yang bertanya: “Kok tumben temanmu anak Masyumi”, hanya karena Lafran numpang shalat di situ. Satu keluarga itu pun mengintip kegiatan shalat Lafran sambil berbisik-bisik.
Adegan lucu juga muncul pada penutup film, yaitu ketika Lafran melamar Bisromah, seorang guru TK, di pinggir pantai. Lafran tampak canggung dan berterus terang bahwa ia sudah persiapkan ungkapan, tetapi ia tidak bisa mengingatnya sehingga memilih untuk menyerahkan surat kepada Bisromah. Isi surat itu sangat kocak karena Lafran meminta Bisromah sebagai istrinya dengan janji setelah menikah akan pulang tepat waktu, selalu menghabiskan masakan istri bagaimana pun rasanya, serta akan mengajari anak mereka untuk juga menghabiskan masakan Bisromah. Proses lamaran itu sangat khas pemuda serius zaman dulu: canggung, tanpa rayuan, lugu, dan menggelikan sehingga istri dan mertua saya pun tertawa tergelak.
Film ini berpusat pada gagasan Keislaman dan Keindonesiaan yang menjadi ikon Lafran sehingga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2017. Seluruh film Lafran secara tidak langsung menegaskan gagasan tersebut dengan semangat kemodernan. Alur pertumbuhan gagasan itu tidak diungkapkan secara tiba-tiba, melainkan dipaparkan dari kehidupan masa kecil Lafran di Sipirok, pengalaman pergerakan yang ia temui ketika ia tinggal dengan kakak-kakaknya di Jakarta, hingga polemik dan persentuhan dengan gerakan nasional Islam dan nasional sekuler di Yogyakarta.
Film Lafran dimulai dari Sipirok, di wilayah Tapanuli Selatan. Ayah Lafran adalah aktivis Persyarikatan, namun bersentuhan dengan partai nasionalis, yaitu Partindo. Ia bekerja dalam bidang percetakan dan bertindak pula sebagai penulis. Ia hidup dalam lingkungan Batak Muslim, yang biasanya teguh pada agama, tetapi saling menghormati keyakinan masyarakat Batak yang berbeda keyakinan.
Lafran kecil digambarkan sebagai anak Badung, tapi cerdas, yang sering membolos mengaji. Masa kecil Lafran banyak dalam pengawasan nenek karena sang ayah sering kegiatan di luar kota. Karena sifat badungnya, Lafran merasa tidak bisa seperti para kakaknya yang berkarir sebagai penulis. Kakak Lafran, yaitu Sanusi Pane dan Armjn Pane, dikenal sebagai sastrawan Indonesia Angkatan Pujangga Baru. Namun, Lafran tidak mewarisi bakat menulis sebagaimana mereka.
Saat tinggal di Jakarta mulanya Lafran sering terlibat dengan adu jotos. Ia bahkan ikut dalam pertandingan tinju liar sampai ia tersadar dan tertarik untuk ikut berjuang. Lafran mulai suka membaca karya-karya kakaknya, ikut dalam diskusi politik kakaknya, hingga ikut pertemuan pemuda kiri (Wikana dan jawan-kawan), yang merencanakan untuk menculik Soekarno guna memproklamasikan kemerdekaan. Di sekolah Lafran berubah menjadi kritis dan mempertanyakan kepada gurunya tentang penggunaan bahasa Belanda di sekolah, yang semua muridnya orang Indonesia. Hal itu membuat Lafran diusir dari kelas. Lafran akhirnya bisa menyelesaikan studi dan mendapatkan ijazah yang diserahkan oleh Kasman Singodimedjo.
Lafran lalu memutuskan untuk pulang ke Sipirok dan berjuang di tempat tinggalnya. Naas, ia ditangkap oleh Jepang, dijebloskan ke penjara, dan terancam hukuman mati. Berkat Sang ayah ia dibebaskan dengan jaminan tidak lagi berada di Sumatera dan dengan konsesi percetakan dan harta benda milik Sang Ayah diberikan kepada Jepang. Pada saat itu, Lafran merasa dirinya tidak seperti kakak-kakaknya. Namun, Sang Ayah menghibur bahwa Lafran lebih mirip Sang Ayah, yang lebih suka berjuang langsung dan berhadapan, dibandingkan melalui tulisan.
Itulah awal Lafran pindah ke Yogyakarta dan belajar di Sekolah Tinggi Islam (STI). Di Yogyakarta, Lafran tidak hanya bersentuhan dengan mahasiswa STI, tetapi juga mahasiswa Universitas Gadjah Mada, maupun dengan masyarakat umum. Ia merasakan pertentangan dan polemik antara kalangan Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler. Keduanya berupaya mempengaruhi Lafran melalui tokoh Syarif, seorang aktivis GPII (underbow Masyumi) dan Juan Carlos, dari kalangan nasionalis sekuler. Di luar kampus, Lafran menjumpai polemik mengenai ritual antara kaum pembaharu dan tradisionalis mengenai praktik ritual, plus eksistensi muslim abangan yang tidak menjalankan syariat Islam.
Di sisi lain, Indonesia sedang menghadapi agresi militer Belanda yang menuntut partisipatif kalangan mahasiswa. Kemudian terbentuklah resimen mahasiswa, yang nantinya dipelopori oleh teman Lafran dan salah satu aktivis Himpunan, yaitu Achmad Tirtosudiro.
Pendirian organisasi yang beraliran Islam sempat menimbulkan polemik Lafran dengan kalangan GPII yang menyarankan semua gerakan Islam menyatu di Partai Masyumi karena Masyumi menjadi satu-satunya wadah bagi seluruh gerakan dan organisasi Islam saat itu. Namun, Lafran menginginkan organisasi yang mandiri meski punya tujuan yang sama dengan Masyumi. Ia mendapatkan dukungan moral dari Ahmad Kahar Muzakkir, Rektor STI dan perumus Piagam Jakarta. Puncak dari perjuangan Lafran melalui organisasinya adalah dengan hadirnya Jenderal Soedirman dalam pelantikan pengurus baru dengan pidato yang berisi harapan untuk masa depan yang baik.
Alur Film Lafran terkadang lambat dan terkadang cepat. Alur lambat ini umumnya berkaitan dengan kisah pribadi Lafran. Film ini memberikan eksplorasi terhadap pergulatan batin Lafran sehingga memungkinkan penonton melihat dimensi pribadi dan hubungan sosial Lafran secara tenang dan runtut. Namun, alur film kemudian berubah cepat saat menceritakan tentang tokoh dan peristiwa dalam pergerakan nasional. Tokoh dan peristiwa politik hanya ditampilkan sekilas, tanpa penjelasan yang memadai. Hal tersebut boleh jadi karena ide dasar film ini yang menempatkan politik sebagai sarana berjuang, tetapi rawan menimbulkan perpecahan.
Oleh karena itu, hubungan antara latar belakang kehidupan dengan bangun pemikiran Lafran itu hanya bisa difahami oleh mereka yang memiliki literasi cukup mengenai pergerakan nasional dan gerakan keagamaan pada awal abad ke-20. Inilah kesulitan yang sering muncul pada film-film biopik. Terlepas dari kekurangan tersebut, Film Lafran sangat layak ditonton dan mampu membawa kesan tersendiri dalam melihat horizon hubungan antara Keislaman dan Keindonesiaan.***