SUKABUMITIMES.COM – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peradaban Islam dan Pondok Pesantren 2025 yang digelar di Universitas Nusa Putra, Sukabumi, tampil sebagai pertemuan intelektual dan moral yang merangkum kekhawatiran sekaligus harapan umat.
Konferensi yang diinisiasi dan dipimpin Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Cisaat yang dikuti oleh 70 pesantren dan Tidka kurang dari 80 negara juga turut hadir.
Kegiatan ini mengangkat tema besar “Membangun Jembatan Peradaban Islam 2030: Meneguhkan ASWAJA di Era Digital dan Tantangan Media” dan dihadiri ulama, akademisi, pimpinan pesantren, serta mahasiswa internasional.
Acara ini lahir sebagai respons strategis terhadap tantangan internal—fragmentasi ideologis dan ekstremisme yang berupaya “menghapus Atsar-Atsar Salaf”—serta tantangan eksternal dari perubahan lanskap global Era 5.0.
KTT ini secara khusus menjadi momentum reflektif atas polemik tayangan program media yang dinilai merendahkan martabat pesantren, sekaligus merespons kerawanan ekstremisme di wilayah Sukabumi.
Pesantren: Dari Benteng Moral Menuju Pusat Peradaban
KTT diformulasikan sebagai ruang pencerahan dan konsolidasi, bukan sekadar respons simbolik.
Ketua Tanfidziyah MWCNU Kecamatan Cisaat, Muhammad Azzaam Muttaqie, selaku pemimpin KTT, menegaskan tujuan mulia dari pertemuan ini.
“KTT ini bukan ruang kemarahan, tetapi ruang pencerahan. Kami ingin mengembalikan pesantren pada tempatnya yang mulia sebagai sumber ilmu, sumber akhlak, dan sumber peradaban,” ujar Azzaam Muttaqie.
Ia menekankan bahwa pesantren adalah “benteng peradaban” yang wajib dilindungi dari stereotip dan pelecehan publik, seraya berharap Sukabumi dapat menjadi teladan dalam memperkuat nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA).
Dari forum ini lahir kerangka aksi ambisius yang dinamakan Visi Peradaban Islam 2030: sebuah cetak biru glokal yang menggabungkan tradisi otentik ASWAJA dengan inovasi Era 5.0.
Visi ini adalah upaya sistematis untuk “Transformasi Citra Islam” dari pandangan yang disalahpahami sebagai “otoritarianisme dan keterbelakangan” menjadi kekuatan etika, intelektual, dan kebangsaan yang dinamis.
Pilar Kunci Visi 2030: Jihad Digital dan Diplomasi Geopolitik
Visi 2030 merinci pilar-pilar strategis di berbagai sektor, namun dua inisiatif menonjol sebagai fokus utama:
1. Kedaulatan Narasi (Jihad Digital)
KTT mencanangkan Jihad Digital sebagai respons langsung dan terstruktur terhadap penyebaran ekstremisme dan ancaman media di ruang siber. Inisiatif ini berfokus pada pembangunan kedaulatan narasi Islam moderat (Wasatiah).
Program aksi meliputi pembentukan jaringan media dan studio kreatif untuk melatih santri serta kader menjadi “panglima di medan media” dalam memerangi disinformasi dan framing negatif. Program ini dipandang strategis untuk mengembalikan wacana publik kepada nilai-nilai moderasi dan toleransi.
2. Strategi Geopolitik (Diplomasi Tanpa Senjata)
Secara geopolitik, KTT mengadopsi rekomendasi berani: Diplomasi Tanpa Senjata (At-tahrir bilasilah). Strategi ini memprioritaskan kekuatan ilmu pengetahuan (Jihad Ilmu) dan politik (Jihad Diplomasi) di atas konfrontasi militer sebagai jalan menuju pembebasan.
Tujuan jangka panjangnya adalah menghapuskan segala bentuk penjajahan—militer, ekonomi, dan budaya—di seluruh dunia.
Solidaritas terhadap Palestina ditetapkan sebagai “litmus test (uji keabsahan)” komitmen kemanusiaan global. Rekomendasi strategis ini secara spesifik mencakup Pembebasan Masjidil Aqsha di Yerusalem dan Masjid Al-Ibrahimi di Hebron, menjadikannya bagian integral dari perjuangan universal untuk keadilan.
Kerangka Programatik dan Tujuan Akhir
Untuk memastikan implementasi Visi 2030, KTT merumuskan matriks programatik yang terstruktur, meliputi:
Pendidikan dan Kelembagaan: Gerakan Satu Desa – Satu Ma’arif untuk penguatan kelembagaan pendidikan di tingkat akar rumput, serta program kaderisasi GEMA (Generasi Emas Militan ASWAJA).
Riset dan Inovasi: Pembentukan institusi riset khusus seperti Al-Farabi Institute dan pusat inovasi teknologi bernama An-Nur Tech. Semua dirancang untuk memastikan kesinambungan nilai tradisi sekaligus menjawab tantangan Era 5.0, mengatasi melemahnya kualitas pengetahuan dan individualisme.
Implementasi dan Pendanaan: Keberlanjutan Visi 2030 akan diukur melalui sinergi antara ulama, umaro (pemerintah), dan akademisi, didukung oleh mekanisme pendanaan komunitas yang berkelanjutan.
Sebagai tujuan akhir (The Grand Vision), KTT Peradaban Islam 2025 menetapkan pencapaian “Kenyamanan Universal” pada Visi 2030. Kenyamanan ini diartikan sebagai penyelarasan nilai-nilai Wasatiah dengan profesionalisme Era 5.0, memastikan terwujudnya “kenyamanan, kedamaian, keamanan, dan kebahagiaan” yang dirasakan oleh seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam.
KTT Peradaban Islam & Pondok Pesantren 2025 menutup dengan harapan bahwa Sukabumi menjadi laboratorium peradaban yang mampu menginspirasi daerah lain: bahwa tradisi pesantren dapat bersanding dengan kecanggihan teknologi tanpa kehilangan martabatnya—dan bahwa narasi agama di ruang publik dapat dipulihkan melalui kecerdasan, etika, dan strategi kebijakan yang bijak. (*/sya)


























